Pemerintah Kaji Insentif Demi Tarik Investasi Pusat
Jakarta, PaFI Indonesia — Pemerintah tengah mengkaji kebijakan khusus untuk menarik investasi pusat data (data center) di Indonesia, terutama terkait tarif listrik yang masih dianggap belum kompetitif dibandingkan negara tetangga.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Rachmat Kaimuddin menegaskan pemerintah harus melihat peluang apa saja yang bisa didorong untuk meningkatkan industri dalam negeri melalui investasi pusat data.
“Kita juga harus melihat peluang apa lagi yang bisa kita dorong untuk meningkatkan industri kita,” ujar Rachmat di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jakarta, Jumat (14/10).
Menurut Rachmat, tarif listrik untuk industri pusat data di Indonesia saat ini berada pada kisaran US$11 sen – US$12 sen per kilowatt-hour (kWh). Sementara, tarif listrik di Malaysia hanya sekitar US$8 sen per kWh.
Ia mengungkapkan penting bagi pemerintah untuk memberikan insentif khusus demi membuat biaya listrik bagi pusat data lebih kompetitif di Indonesia.
“Kita ingin coba, itu ada preseden-preseden sebenarnya kita memberikan insentif-insentif. Kayak misalnya batu bara ada yang kita berikan lebih rendah, atau gas untuk industri tertentu. Bahkan untuk charging station saja, harganya berbeda. Jadi presedennya ada, tinggal nanti mungkin pemerintah bisa duduk bareng,
kita lihat industrinya seberapa strategis dan insentif apa yang perlu diberikan,” jelas Rachmat.
Selain tarif listrik, Rachmat juga menyoroti aspek lain seperti konektivitas dan penggunaan listrik hijau. Menurutnya, banyak pelaku industri yang menginginkan listrik ramah lingkungan untuk operasional pusat data mereka.
“Kita harus juga pikir, kalau kita bikin banyak di Indonesia, bisa nggak kita hilirisasi,
bisa enggak servernya dirakit di Indonesia untuk menciptakan lapangan kerja baru? Kalau tidak, nanti kita hanya jadi tempat parkir saja,” ujarnya.
Rachmat menekankan investasi pusat data harus memberikan multiplier effect bagi ekonomi Indonesia, bukan sekadar sebagai penerima pajak atau biaya layanan.
Dalam hal regulasi, Rachmat mengakui ada beberapa hal yang masih perlu ditinjau,
seperti revisi undang-undang terkait telekomunikasi yang dinilai sudah usang.
Namun, ia menyatakan bahwa aturan terkait multi-provider untuk layanan seperti energi sudah diizinkan secara regulasi, meski dampaknya belum signifikan.
“Ini PR saya untuk minggu depan, kita akan follow up lagi. Secara regulasi multi-after provider sudah diperbolehkan, tapi mungkin kita perlu lihat kenapa dampaknya belum sebesar yang kita pikir,” pungkasnya.